welcome

coret-coret

Sebuah papan bertuliskan "Pulau Onrust: Pulau Tanpa Istirahat yang Telah Istirahat" menyambut kedatangan para pengunjung di pulau itu. Onrust dalam bahasa Belanda berarti "tanpa istirahat" atau "sibuk". Ini merupakan gambaran situasi pulau pertama Indonesia yang didatangi Belanda di abad 17-19. Tetapi, ketika rombongan Wisata Bahari akhir bulan lalu mengunjungi pulau itu, suasana mencekam, sunyi, dingin, dan suram menyambut. Dari balik reruntuhan bangunan dan makam tua yang membisu dan satu persatu mulai luluh dimakan waktu, tak terbayang bila dulu pulau itu tak pernah beristirahat.

Sejarah panjang mewarnai kehidupan masa lampau di Onrust. Kehadiran Inggris di sana pada tahun 1800 yang kemudian memusnahkan seluruh aktivitas perkapalan dan perdagangan yang dirintis Belanda di sana merupakan awal dari tidur panjang Pulau Onrust. Sejak itu, Onrust mulai berkurang peranannya. Bahkan, melihat kondisinya saat ini, pulau Onrust dapat dikatakan telah mati.

Onrust hanya menyisakan sejuta kisah indah masa lalu, saat periode keemasan kolonial Belanda, hingga sejumlah kisah memilukan yang luput dari perhatian masyarakat. Sejumlah tahanan politik dan kriminal dieksekusi mati oleh penguasa di sana. Salah satunya adalah tokoh DI/TII, Kartosuwiryo, yang dieksekusi dan dimakamkan di pulau itu.

Wisata Bahari yang diselenggarakan Museum Bahari pada akhir pekan bulan lalu diikuti 50 orang peserta untuk kembali menghayati kehidupan masa lampau yang pernah mewarnai kehidupan Onrust. Selain Onrust, tiga pulau lain di kawasan Pulau Seribu yang sarat sejarah, yaitu Pulau Edam, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir juga dikunjungi. Serunya, kunjungan ke empat pulau itu dilakukan dengan menggunakan perahu tradisional Bugis, Phinisi. Meski berjalan lambat dibandingkan dengan kapal bermesin jet, perjalanan menggunakan kapal itu mampu memberikan makna sesungguhnya tentang kehidupan bahari bagi para peserta wisata.

Kegiatan tersebut memang sengaja ditujukan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya bahari bangsa, yang saat ini bisa dikatakan hampir terlupakan. ''Diharapkan, melalui kegiatan ini masyarakat lebih memahami pentingnya keberadaan beberapa pulau yang terdapat di kawasan Kepulauan Seribu itu bagi sejarah dan menjadikannya sebagai destinasi wisata alternatif yang menarik, mendidik, dan menyenangkan,'' ujar Kepala Museum Bahari, Husen Muhammad.

Pulau pertama yang dikunjungi dalam rangkaian Wisata Bahari adalah Pulau Edam atau sering disebut juga Pulau Damar Besar. Di pulau yang berjarak sekitar 8 mil dari bibir pantai pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, terdapat sejumlah bangunan tua, gudang peluru, kuburan bersejarah dan sebuah mercusuar. Sebetulnya, pulau Edam merupakan pulau tertutup untuk umum karena di puncak mercusuar terdapat instalasi pemancar pesawat terbang. Mercusuar itu juga berfungsi sebagai navigator bagi pelayaran laut di sekitar lepas pantai Jakarta.

Menurut keterangan Kepala Sub Dinas Pengkajian dan Pengembangan, Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, Chandrian A, yang menjadi pemandu tur tersebut, pulau Edam di zaman penjajahan Belanda difungsikan sebagai salah satu benteng pertahanan lepas pantai mereka. "Pada tahun 1950-an, Edam dialihfungsikan sebagai asrama bagi anak-anak yatim piatu, gelandangan dan nakal. Seringkali mereka berupaya melarikan diri dari pulau itu menuju Tanjung Priok menggunakan kayu dan batang pisang untuk menyeberangi lautan,'' ujar Chandrian.

Kondisi Pulau Edam yang penuh semak belukar ini membuat pemandu melarang keras para peserta untuk merokok. Karena sedikit saja ada percikan api, kemungkinan dapat menyambar semak dan dedaunan kering ini terbakar. Selain peninggalan Belanda, di Edam juga terdapat kuburan yang diangap keramat oleh para nelayan. Seorang perempuan yang bernama Neng Syarifah Fatimah yang merupakan anak seorang Raja Makassar dimakamkan di situ.

0 komentar:

Posting Komentar